Banyak amalan ibadah yang dapat dilakukan ketika sedang haid. Namun biasanya seorang wanita yang sedang haid mengalami penurunan semangat untuk beribadah, mungkin disebabkan kare...na rasa nyeri atau sakit saat datang bulan. Sebaiknya kita harus tetap semangat meskipun sedang haid sekaligus melakukan amalan ibadah. Berikut ini contoh amalan yang dapat dilakukan ketika sedang haid :
1. Memperbanyak dzikir kepada Allah
Dzikir menurut bahasa artinya ingat. Berdzikir berarti mengingat Allah, baik dilakukan dalam hati, ucapan maupun tindakan yang mensucikan dan memuliakan Allah.
- Dzikir dengan hati yaitu selalu mengingat Alloh dalam hati (merenungkan keagungan-Nya)
- Dzikir dengan ucapan / lidah artinya dzikir menyebut nama Allah secara lisan dengan mengucapkan perkataan yang bermanfaat, membaca Al-Qur’an dan ayat-ayat Allah, berdoa mengucap takbir tahlil tahmid dsb.
- Dzikir dengan anggota badan yaitu dengan mengerjakan kebaikan/perbuatan yang diredhai Allah seperti pergi mengaji ke masjid, menolong sesame dsb.
2. Menghadiri majlis ta’lim
3. Membaca buku2 agama
4. Mengisi waktu dengan melakukan hal yang bermanfaat
------------------------------------------------------------------------
Bolehnya Wanita Haid Berdzikir Kepada Allah Dan Membaca
Al Qur’an
Al Imam Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 971) meriwayatkan dengan
sanadnya sampai kepada Ummu `Athiyah radhiallahu ‘anha, ia berkata :
...
“Kami dulunya diperintah untuk keluar (ke lapangan shalat Ied, pent.)
pada Hari Raya sampai-sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya
dan wanita-wanita haid. Mereka ini berada di belakang orang-orang
(yang shalat), mereka bertakbir dan berdo’a dengan takbir dan doanya
orang-orang yang hadir. Mereka mengharapkan berkah hari tersebut dan
kesuciannya.” (Diriwayatkan juga oleh Muslim nomor 10 : `Shalat
Iedain’)
`Aisyah radhiallahu ‘anha berkata : “Aku datang ke Makkah dalam
keadaan haid. Dan aku belum sempat Thawaf di Ka’bah dan Sa’i antara
Shafa dan Marwah. Maka aku adukan hal itu kepada Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
“Perbuatlah sebagaimana yang dilakukan seorang yang berhaji, hanya
saja jangan engkau Thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haid).”
(HR. Bukhari nomor 1650 dan Muslim nomor 120/ Kitab Al Hajj)
Dua hadits di atas memberi faedah bahwa wanita haid disyariatkan
untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala, dan Al Qur’an termasuk dzikir
sebagaimana Allah berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz Dzikir (Al Qur’an) dan
Kami-lah yang akan menjaganya.” (Al Hijr : 9)
Apabila seorang yang berhaji dibolehkan membaca Al Qur’an maka
demikian pula bagi wanita haid, karena yang dikecualikan dalam
larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada `Aisyah yang
sedang haid hanyalah Thawaf.
Permasalahan membaca Al Qur’an bagi wanita haid ini memang ada
perselisihan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada yang
tidak membolehkan.
Abu Hanifah berpendapat bolehnya wanita haid membaca Al Qur’an dan
ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad,
dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Mereka
mengatakan : “Asal dalam perkara ini adalah halal. Maka tidak boleh
memindahkan kepada selainnya kecuali karena ada larangan yang shahih
yang jelas.”
Adapun jumhur Ahli Ilmu berpendapat tidak boleh bagi wanita haid
untuk membaca Al Qur’an, akan tetapi boleh baginya untuk berdzikir
kepada Allah. Mereka ini mengkiaskan (atau menyamakan) haid dengan
junub, padahal sebenarnya tidak ada pula dalil yang melarang orang
junub untuk membaca Al Qur’an.
Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang pertama, dan ini bisa
dilihat dalam Majmu’ Fatawa 21/460 dan Syarhuz Zad 1/291. (Nukilan
dari Syarh Umdatul Ahkam karya Abu Ubaidah Az Zaawii, murid senior
Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadhi’i)
Asy Syaikh Mushthafa Al Adhawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa’
(1/183-187) membawakan bantahan bagi yang berpendapat tidak bolehnya
wanita haid membaca Al Qur’an dan di akhir tulisannya beliau
berkata : “Maka kesimpulan permasalahan ini adalah boleh bagi wanita
haid untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an karena tidak
ada dalil yang shahih yang jelas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam yang melarang dari hal tersebut bahkan telah datang dalil
yang memberi faedah bolehnya (wanita haid) membaca Al Qur’an dan
berdzikir sebagaimana telah lewat penyebutannya, Wallahu A’lam.”
Kesebelas : Hukum Menyentuh Mushaf Bagi Wanita Haid
Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/502) menyatakan bolehnya
wanita haid membawa Al Qur’an dan ini sesuai dengan madzhab Abu
Hanifah. Berbeda dengan pendapat jumhur yang melarang hal tersebut
dan mereka menyatakan bahwa membawa Al Qur’an dalam keadaan haid
mengurangi pengagungan terhadap Al Qur’an.
Berkata Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi : “Mayoritas Ahli Ilmu
berpendapat wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur’an. Namun
dalil-dalil yang mereka bawakan untuk menetapkan hal tersebut
tidaklah sempurna untuk dijadikan sisi pendalilan. Dan yang kami
pandang benar, Wallahu A’lam, bahwasannya boleh bagi wanita haid
untuk menyentuh mushaf Al Qur’an. Berikut ini kami bawakan dalil-
dalil yang digunakan oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh
Al Qur’an. Kemudian kami ikutkan jawaban atas dalil-dalil tersebut
(untuk menunjukkan bahwasanya wanita haid tidaklah terlarang untuk
menyentuh mushaf, pent.) :
1) Firman Allah Ta’ala :
“Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Al Waqi’ah :
79)
2) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Tidaklah menyentuh Al Qur’an itu kecuali orang yang suci.” (HR. Ath
Thabrani. Lihat Shahihul Jami’ 7880. Al Misykat 465)
Jawaban atas dalil di atas :
Pertama : Mayoritas Ahli Tafsir berpendapat bahwa yang diinginkan
dengan dlamir (kata ganti) dalam firman Allah Ta’ala : ((Laa
Yamassuhu)) adalah `Kitab Yang Tersimpan Di Langit’. Sedangkan ((Al
Muthahharun)) adalah `Para Malaikat’. Ini dipahami dari konteks
beberapa ayat yang mulia :
“Sesungguhnya dia adalah Qur’an (bacaan) yang mulia dalam kitab yang
tersimpan, tidaklah menyentuhnya kecuali Al Muthahharun (mereka yang
disucikan).” (Al Waqi’ah : 77-79)
Dan yang menguatkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala :
“Dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi
disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi berbakti (yakni para
malaikat, pent.).” (Abasa : 13-16)
Inilah pendapat mayoritas Ahli Tafsir tentang tafsir ayat ini.
Pendapat Kedua : Tentang tafsir ayat ini bahwasannya yang dimaukan
dengan Al Muthahharun adalah kaum Mukminin, berdalil dengan firman
Allah :
“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.” (At Taubah : 28)
Dan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283
dan Muslim nomor 116)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang bepergian dengan
membawa mushaf ke negeri musuh, karena khawatir jatuh ke tangan
mereka. (HR. Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Pendapat Ketiga : Bahwasannya yang dimaukan dengan firman Allah (yang
artinya) : “Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Al
Waqi’ah : 79) adalah tidak ada yang dapat merasakan kelezatannya dan
tidak ada yang dapat mengambil manfaat dengannya kecuali orang-orang
Mukmin.
Namun adapula Ahli Tafsir (walaupun sedikit) yang berpendapat dengan
pendapat keempat, bahwa : “Yang dimaksudkan dengan Al Muthahharun
adalah mereka yang disucikan dari dosa-dosa dan kesalahan.
Dan yang kelima : Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats
besar dan kecil.
Sisi keenam : Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats
besar (janabah).
Mereka yang membolehkan wanita haid menyentuh mushaf memilih sisi
yang pertama, dengan begitu tidak ada dalil dalam ayat tersebut yang
menunjukkan larangan bagi wanita haid untuk menyentuh Al Qur’an.
Sedangkan mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur’an
memilih sisi kelima dan keenam. Dan telah lewat penjelasan bahwa
mayoritas ahli tafsir menafsirkan Al Muthahharun dengan malaikat.
Dalil Kedua : Tidak aku dapatkan isnad yang shahih, tidak pula yang
hasan, bahkan yang mendekati shahih atau hasan untuk hadits yang
dijadikan dalil oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al
Qur’an. Setiap sanad hadits ini yang aku dapatkan, semuanya tidak
lepas dari pembicaraan. Lantas apakah hadits ini bisa terangkat
kepada derajat shahih atau hasan dengan dikumpulkannya semua sanadnya
atau tidak?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat, Asy Syaikh Albani
rahimahullah menshahihkannya dalam Al Irwa’ (91/158). Bila hadits ini
dianggap shahih sekalipun, maka pengertiannya sebagaimana pengertian
ayat yang mulia di atas. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/187-188)
Asy Syaikh Al Albani rahimahullah sendiri ketika menjabarkan hadits
di atas beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan `thahir’ adalah
orang Mukmin baik dalam keadaan berhadats besar atau hadats kecil
ataupun dalam keadaan haid. Wallahu A’lam.
Keduabelas : Bolehkah Wanita Haid Masuk Ke Masjid?
Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan Ahli Ilmu,
ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi membawakan dalil dari kedua belah pihak
dan kemudian ia merajihkan/menguatkan pendapat yang membolehkan
wanita haid masuk ke masjid. Berikut ini dalil-dalilnya :
Dalil Yang Membolehkan :
1) Al Bara’ah Al Ashliyyah, maknanya tidak ada larangan untuk masuk
ke masjid.
2) Bermukimnya wanita hitam yang biasa membersihkan masjid, di dalam
masjid, pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tidak ada
keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan
haditsnya terdapat dalam Shahih Bukhari.
3) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada `Aisyah
radhiallahu ‘anha yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji
bersama beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali
jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari nomor 1650)
Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak
melarang `Aisyah untuk masuk ke masjid dan sebagaimana jamaah haji
boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid (boleh masuk
masjid).
4) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283
dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid)
5) Atha bin Yasar berkata : “Aku melihat beberapa orang dari shahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam duduk di masjid dalam
keadaan mereka junub apabila mereka telah berwudlu seperti wudlu
shalat.” (Dikeluarkan oleh Said bin Manshur dalam Sunan-nya dan
isnadnya hasan)
Maka sebagian ulama mengkiaskan junub dengan haid.
Mereka yang membolehkan juga berdalil dengan keberadaan ahli shuffah
yang bermalam di masjid. Di antara mereka tentunya ada yang mimpi
basah dalam keadaan tidur. Demikian pula bermalamnya orang-orang yang
i’tikaf di masjid, tidak menutup kemungkinan di antara mereka ada
yang mimpi basah hingga terkena janabah dan di antara wanita yang
i’tikaf ada yang haid.
Dalil Yang Melarang :
1) Firman Allah Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat
sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa
yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar
lewat sampai kalian mandi.” (An Nisa’ : 43)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata `shalat’ dalam ayat
di atas adalah tempat-tempat shalat, berdalil dengan firman Allah
Ta’ala :
“… niscaya akan runtuh tempat-tempat ibadah ruhban Nasrani, tempat
ibadah orang umum dari Nasrani, shalawat, dan masjid-masjid.” (Al
Hajj : 40)
Mereka berkata : “((Akan runtuh shalawat)) maknanya ((akan runtuh
tempat-tempat shalat)).”
Di sini mereka mengkiaskan haid dengan junub. Namun kata Asy Syaikh
Mushthafa : “Kami tidak sepakat dengan mereka karena orang yang junub
dapat segera bersuci sehingga di dalam ayat ini ada anjuran untuk
bersegera dalam bersuci, sedangkan wanita yang haid tidak dapat
berbuat demikian.”
2) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada para wanita ketika
beliau memerintahkan mereka untuk keluar ke tanah lapangan pada saat
shalat Ied. Beliau menyatakan :
“Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari
nomor 324)
Jawaban atas dalil ini adalah bahwa yang dimaksud dengan `mushalla’
di sini adalah `shalat’ itu sendiri, yang demikian itu karena Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya shalat Ied di
tanah lapang, bukan di masjid dan sungguh telah dijadikan bumi
seluruhnya untuk ummat ini sebagai masjid (tempat shalat).
3) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendekatkan kepala beliau
kepada `Aisyah yang berada di luar masjid ketika beliau sedang berada
di dalam masjid, hingga `Aisyah dapat menyisir beliau dan ketika
itu `Aisyah sedang haid.
Jawaban atas dalil ini adalah tidak ada di dalamnya larangan secara
jelas bagi wanita haid untuk masuk ke dalam masjid. Sementara di
masjid itu sendiri banyak kaum pria dan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentu tidak suka mereka sampai melihat
istri beliau.
4) Perintah-perintah yang ada untuk membersihkan masjid dari kotoran-
kotoran.
Dalam hal ini juga tidak ada larangan yang tegas bagi wanita haid.
Yang jelas selama wanita haid tersebut aman dari kemungkinan darahnya
mengotori masjid, maka tidak apa-apa ia duduk di dalam masjid.
5) Hadits yang lafadhnya :
“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi
wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442. Didlaifkan dalam Al
Irwa’ 1/124)
Namun hadits ini dlaif (lemah) karena ada rawi bernama Jasrah bintu
Dajaajah.
“Sebagai akhir”, kata Asy Syaikh Mushthafa, “kami memandang tidak ada
dalil yang shahih yang tegas melarang wanita haid masuk ke masjid,
dan berdasarkan hal itu boleh bagi wanita haid masuk masjid atau
berdiam di dalamnya.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/191-195, dengan sedikit
ringkasan)
Al Qur’an
Al Imam Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 971) meriwayatkan dengan
sanadnya sampai kepada Ummu `Athiyah radhiallahu ‘anha, ia berkata :
...
“Kami dulunya diperintah untuk keluar (ke lapangan shalat Ied, pent.)
pada Hari Raya sampai-sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya
dan wanita-wanita haid. Mereka ini berada di belakang orang-orang
(yang shalat), mereka bertakbir dan berdo’a dengan takbir dan doanya
orang-orang yang hadir. Mereka mengharapkan berkah hari tersebut dan
kesuciannya.” (Diriwayatkan juga oleh Muslim nomor 10 : `Shalat
Iedain’)
`Aisyah radhiallahu ‘anha berkata : “Aku datang ke Makkah dalam
keadaan haid. Dan aku belum sempat Thawaf di Ka’bah dan Sa’i antara
Shafa dan Marwah. Maka aku adukan hal itu kepada Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
“Perbuatlah sebagaimana yang dilakukan seorang yang berhaji, hanya
saja jangan engkau Thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haid).”
(HR. Bukhari nomor 1650 dan Muslim nomor 120/ Kitab Al Hajj)
Dua hadits di atas memberi faedah bahwa wanita haid disyariatkan
untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala, dan Al Qur’an termasuk dzikir
sebagaimana Allah berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz Dzikir (Al Qur’an) dan
Kami-lah yang akan menjaganya.” (Al Hijr : 9)
Apabila seorang yang berhaji dibolehkan membaca Al Qur’an maka
demikian pula bagi wanita haid, karena yang dikecualikan dalam
larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada `Aisyah yang
sedang haid hanyalah Thawaf.
Permasalahan membaca Al Qur’an bagi wanita haid ini memang ada
perselisihan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada yang
tidak membolehkan.
Abu Hanifah berpendapat bolehnya wanita haid membaca Al Qur’an dan
ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad,
dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Mereka
mengatakan : “Asal dalam perkara ini adalah halal. Maka tidak boleh
memindahkan kepada selainnya kecuali karena ada larangan yang shahih
yang jelas.”
Adapun jumhur Ahli Ilmu berpendapat tidak boleh bagi wanita haid
untuk membaca Al Qur’an, akan tetapi boleh baginya untuk berdzikir
kepada Allah. Mereka ini mengkiaskan (atau menyamakan) haid dengan
junub, padahal sebenarnya tidak ada pula dalil yang melarang orang
junub untuk membaca Al Qur’an.
Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang pertama, dan ini bisa
dilihat dalam Majmu’ Fatawa 21/460 dan Syarhuz Zad 1/291. (Nukilan
dari Syarh Umdatul Ahkam karya Abu Ubaidah Az Zaawii, murid senior
Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadhi’i)
Asy Syaikh Mushthafa Al Adhawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa’
(1/183-187) membawakan bantahan bagi yang berpendapat tidak bolehnya
wanita haid membaca Al Qur’an dan di akhir tulisannya beliau
berkata : “Maka kesimpulan permasalahan ini adalah boleh bagi wanita
haid untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an karena tidak
ada dalil yang shahih yang jelas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam yang melarang dari hal tersebut bahkan telah datang dalil
yang memberi faedah bolehnya (wanita haid) membaca Al Qur’an dan
berdzikir sebagaimana telah lewat penyebutannya, Wallahu A’lam.”
Kesebelas : Hukum Menyentuh Mushaf Bagi Wanita Haid
Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/502) menyatakan bolehnya
wanita haid membawa Al Qur’an dan ini sesuai dengan madzhab Abu
Hanifah. Berbeda dengan pendapat jumhur yang melarang hal tersebut
dan mereka menyatakan bahwa membawa Al Qur’an dalam keadaan haid
mengurangi pengagungan terhadap Al Qur’an.
Berkata Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi : “Mayoritas Ahli Ilmu
berpendapat wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur’an. Namun
dalil-dalil yang mereka bawakan untuk menetapkan hal tersebut
tidaklah sempurna untuk dijadikan sisi pendalilan. Dan yang kami
pandang benar, Wallahu A’lam, bahwasannya boleh bagi wanita haid
untuk menyentuh mushaf Al Qur’an. Berikut ini kami bawakan dalil-
dalil yang digunakan oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh
Al Qur’an. Kemudian kami ikutkan jawaban atas dalil-dalil tersebut
(untuk menunjukkan bahwasanya wanita haid tidaklah terlarang untuk
menyentuh mushaf, pent.) :
1) Firman Allah Ta’ala :
“Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Al Waqi’ah :
79)
2) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Tidaklah menyentuh Al Qur’an itu kecuali orang yang suci.” (HR. Ath
Thabrani. Lihat Shahihul Jami’ 7880. Al Misykat 465)
Jawaban atas dalil di atas :
Pertama : Mayoritas Ahli Tafsir berpendapat bahwa yang diinginkan
dengan dlamir (kata ganti) dalam firman Allah Ta’ala : ((Laa
Yamassuhu)) adalah `Kitab Yang Tersimpan Di Langit’. Sedangkan ((Al
Muthahharun)) adalah `Para Malaikat’. Ini dipahami dari konteks
beberapa ayat yang mulia :
“Sesungguhnya dia adalah Qur’an (bacaan) yang mulia dalam kitab yang
tersimpan, tidaklah menyentuhnya kecuali Al Muthahharun (mereka yang
disucikan).” (Al Waqi’ah : 77-79)
Dan yang menguatkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala :
“Dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi
disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi berbakti (yakni para
malaikat, pent.).” (Abasa : 13-16)
Inilah pendapat mayoritas Ahli Tafsir tentang tafsir ayat ini.
Pendapat Kedua : Tentang tafsir ayat ini bahwasannya yang dimaukan
dengan Al Muthahharun adalah kaum Mukminin, berdalil dengan firman
Allah :
“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.” (At Taubah : 28)
Dan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283
dan Muslim nomor 116)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang bepergian dengan
membawa mushaf ke negeri musuh, karena khawatir jatuh ke tangan
mereka. (HR. Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Pendapat Ketiga : Bahwasannya yang dimaukan dengan firman Allah (yang
artinya) : “Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Al
Waqi’ah : 79) adalah tidak ada yang dapat merasakan kelezatannya dan
tidak ada yang dapat mengambil manfaat dengannya kecuali orang-orang
Mukmin.
Namun adapula Ahli Tafsir (walaupun sedikit) yang berpendapat dengan
pendapat keempat, bahwa : “Yang dimaksudkan dengan Al Muthahharun
adalah mereka yang disucikan dari dosa-dosa dan kesalahan.
Dan yang kelima : Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats
besar dan kecil.
Sisi keenam : Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats
besar (janabah).
Mereka yang membolehkan wanita haid menyentuh mushaf memilih sisi
yang pertama, dengan begitu tidak ada dalil dalam ayat tersebut yang
menunjukkan larangan bagi wanita haid untuk menyentuh Al Qur’an.
Sedangkan mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur’an
memilih sisi kelima dan keenam. Dan telah lewat penjelasan bahwa
mayoritas ahli tafsir menafsirkan Al Muthahharun dengan malaikat.
Dalil Kedua : Tidak aku dapatkan isnad yang shahih, tidak pula yang
hasan, bahkan yang mendekati shahih atau hasan untuk hadits yang
dijadikan dalil oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al
Qur’an. Setiap sanad hadits ini yang aku dapatkan, semuanya tidak
lepas dari pembicaraan. Lantas apakah hadits ini bisa terangkat
kepada derajat shahih atau hasan dengan dikumpulkannya semua sanadnya
atau tidak?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat, Asy Syaikh Albani
rahimahullah menshahihkannya dalam Al Irwa’ (91/158). Bila hadits ini
dianggap shahih sekalipun, maka pengertiannya sebagaimana pengertian
ayat yang mulia di atas. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/187-188)
Asy Syaikh Al Albani rahimahullah sendiri ketika menjabarkan hadits
di atas beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan `thahir’ adalah
orang Mukmin baik dalam keadaan berhadats besar atau hadats kecil
ataupun dalam keadaan haid. Wallahu A’lam.
Keduabelas : Bolehkah Wanita Haid Masuk Ke Masjid?
Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan Ahli Ilmu,
ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi membawakan dalil dari kedua belah pihak
dan kemudian ia merajihkan/menguatkan pendapat yang membolehkan
wanita haid masuk ke masjid. Berikut ini dalil-dalilnya :
Dalil Yang Membolehkan :
1) Al Bara’ah Al Ashliyyah, maknanya tidak ada larangan untuk masuk
ke masjid.
2) Bermukimnya wanita hitam yang biasa membersihkan masjid, di dalam
masjid, pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tidak ada
keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan
haditsnya terdapat dalam Shahih Bukhari.
3) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada `Aisyah
radhiallahu ‘anha yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji
bersama beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali
jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari nomor 1650)
Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak
melarang `Aisyah untuk masuk ke masjid dan sebagaimana jamaah haji
boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid (boleh masuk
masjid).
4) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283
dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid)
5) Atha bin Yasar berkata : “Aku melihat beberapa orang dari shahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam duduk di masjid dalam
keadaan mereka junub apabila mereka telah berwudlu seperti wudlu
shalat.” (Dikeluarkan oleh Said bin Manshur dalam Sunan-nya dan
isnadnya hasan)
Maka sebagian ulama mengkiaskan junub dengan haid.
Mereka yang membolehkan juga berdalil dengan keberadaan ahli shuffah
yang bermalam di masjid. Di antara mereka tentunya ada yang mimpi
basah dalam keadaan tidur. Demikian pula bermalamnya orang-orang yang
i’tikaf di masjid, tidak menutup kemungkinan di antara mereka ada
yang mimpi basah hingga terkena janabah dan di antara wanita yang
i’tikaf ada yang haid.
Dalil Yang Melarang :
1) Firman Allah Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat
sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa
yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar
lewat sampai kalian mandi.” (An Nisa’ : 43)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata `shalat’ dalam ayat
di atas adalah tempat-tempat shalat, berdalil dengan firman Allah
Ta’ala :
“… niscaya akan runtuh tempat-tempat ibadah ruhban Nasrani, tempat
ibadah orang umum dari Nasrani, shalawat, dan masjid-masjid.” (Al
Hajj : 40)
Mereka berkata : “((Akan runtuh shalawat)) maknanya ((akan runtuh
tempat-tempat shalat)).”
Di sini mereka mengkiaskan haid dengan junub. Namun kata Asy Syaikh
Mushthafa : “Kami tidak sepakat dengan mereka karena orang yang junub
dapat segera bersuci sehingga di dalam ayat ini ada anjuran untuk
bersegera dalam bersuci, sedangkan wanita yang haid tidak dapat
berbuat demikian.”
2) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada para wanita ketika
beliau memerintahkan mereka untuk keluar ke tanah lapangan pada saat
shalat Ied. Beliau menyatakan :
“Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari
nomor 324)
Jawaban atas dalil ini adalah bahwa yang dimaksud dengan `mushalla’
di sini adalah `shalat’ itu sendiri, yang demikian itu karena Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya shalat Ied di
tanah lapang, bukan di masjid dan sungguh telah dijadikan bumi
seluruhnya untuk ummat ini sebagai masjid (tempat shalat).
3) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendekatkan kepala beliau
kepada `Aisyah yang berada di luar masjid ketika beliau sedang berada
di dalam masjid, hingga `Aisyah dapat menyisir beliau dan ketika
itu `Aisyah sedang haid.
Jawaban atas dalil ini adalah tidak ada di dalamnya larangan secara
jelas bagi wanita haid untuk masuk ke dalam masjid. Sementara di
masjid itu sendiri banyak kaum pria dan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentu tidak suka mereka sampai melihat
istri beliau.
4) Perintah-perintah yang ada untuk membersihkan masjid dari kotoran-
kotoran.
Dalam hal ini juga tidak ada larangan yang tegas bagi wanita haid.
Yang jelas selama wanita haid tersebut aman dari kemungkinan darahnya
mengotori masjid, maka tidak apa-apa ia duduk di dalam masjid.
5) Hadits yang lafadhnya :
“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi
wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442. Didlaifkan dalam Al
Irwa’ 1/124)
Namun hadits ini dlaif (lemah) karena ada rawi bernama Jasrah bintu
Dajaajah.
“Sebagai akhir”, kata Asy Syaikh Mushthafa, “kami memandang tidak ada
dalil yang shahih yang tegas melarang wanita haid masuk ke masjid,
dan berdasarkan hal itu boleh bagi wanita haid masuk masjid atau
berdiam di dalamnya.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/191-195, dengan sedikit
ringkasan)
No comments:
Post a Comment